NAMAKU



Rasanya seperti jutaan tahun yang lalu aku dilahirkan. Namun usiaku barulah 19 tahun. Aku mengingat kembali setiap detik dan napas kehidupan yang pernah kulalui, rasanya samar-samar dibalik keringat dan dahaga yang kualami di padang pasir luas nan panas ini. Sudah sekitar 1 minggu aku berjalan tanpa tujuan yang jelas, dan karenanya aku sudah mulai melupakan namaku. Ya, nama yang ku sandang sudah kulupakan. Tiba-tiba rasa ingin tidur menghampiri diriku. Dan sepertinya aku mengalami kilas balik dari kehidupanku ini.

            Menjelang kematianku, aku mengingat siapa namaku. Ya, Tomioka Sakonji. Aku anak dari Tomioka Kaede dan Okawa Murai, di desa kecil, desa Kagura. Aku juga mengingat aku memiliki seorang adik, Yasugi. Entah mengapa, kedua orang yang membawaku dan adikku ke dunia ini, memiliki perasaan yang berbeda terhadap kami. Kaede aku menyebutnya, dia tidak pernah menghargai diriku ini, maupun adikku yang mengalami penyakit langka dimana badannya selalu mencapai suhu yang cukup tinggi.

            Ibuku sebenarnya sama seperti ayahku, tidak pernah menyukai keberadaan diriku. Kelak kuketahui akibat tanda pada dahiku yang dianggap orang sebagai pertanda buruk pada masa itu. Namun perlakuan ibuku terhadap adikku, dia sangat menyayanginya. Mungkin ini membuatku masih menerima sosoknya sebagai orangtuaku. Orang lain yang masih dapat kujadikan sebagai orangtuaku ialah kakekku, Okawa Haganezuka. Ia pemilik dojo (tempat berlatih ilmu bela diri) di desaku, desa Kagura yang mana sejak umur 3 tahun aku selalu mengunjunginya. Kakekku sudah kehilangan nenek sejak ibuku dilahirkan.

            Saat itu umurku masihlah 5 tahun, namun kekuatan fisikku setara dengan remaja berusia 12 tahun. Entah bagaimana, namun menurut penuturan kakekku aku sudah mampu untuk menangkap seekor kelinci dengan tangan kosong, yang mana mustahil untuk dilakukan oleh anak seusiaku. Melihat hal tersebut, Kaede berniat meninggalkanku di hutan, karena dia mengatakan bahwa aku seorang monster. Ya, tak dapat dipungkiri jika aku juga memiliki gigi taring yang cukup panjang.

            Meski Kaede tidak menyukaiku, namun kakekku mengajari ilmu bela dirinya, yang mana katanya ilmu bela dirinya merupakan perwujudan air dalam bentuk manusia. Aku dapat melihatnya, dia tidak berbohong sedikit pun. Kelenturan dari setiap anggota badan dan serangan yang seakan terlihat seperti air terjun menghancurkan batu dibawahnya. Selama 4 tahun kedepannya, hingga usia ke 9 tahun, aku mampu menguasainya. Namun, sayang beribu sayang, ibuku meninggal akibat tergelincir di sumur. 1 tahun setelahnya, guru sekaligus kakekku meninggal akibat usianya yang tua. Bebanku bertambah dimana aku juga harus merawat adikku Yasuei, sudahlah Kaede tidak mau membantuku, ia hanya mabuk saja setiap malam di rumah orang lain.

            Tampaknya beban penderitaanku akan bertambah laginya melihat seorang wanita datang ke rumah kami. Kaede memperkenalkannya sebagai Hada Aoi, dan seperti aku memanggil Kaede dengan namanya, begitu pula Aoi. Dia seorang janda anak satu dengan anaknya laki-laki dengan sedikit sikap kewanitaan, bernama Nakayama Shuji. Meski Kaede dan Ali menikah, seharusnya Shuji ini mengganti nama belakangnya menjadi Tomioka, namun ia tetap memakai nama Nakayama. Beruntung ia tidak memakainya, jika tidak maka akan bertambah rasa malu pada keluarga besar Tomioka di desa lainnya.

            Pada awalnya aku masih dapat menerima keberadaan Shuji sebagai keluargaku dan aku masih menganggap dia merupakan seorang yang bersahabat akibat dari sikapnya yang seperti seorang perempuan. Namun setelah beberapa hari, sikapnya berubah menjadi nenek sihir yang selalu mengeluarkan mantra anehnya di puncak gunung rumah kami. Dia selalu menyuruh kami, dengan pekerjaan rumah yang dibebankan Aoi kepadanya. Mula-mula aku masih menerima setiap perintahnya, karena pernah aku menolak meakukannya dan kami berkelahi. Ujung-ujungnya dia kuhajar hingga babak belur, dan aku di lemparkan Kaede keluar rumah. Namun kelamaan ia juga menyuruh Yasuei, dan hal itu sangat menyebalkan, sudah tau Yasuei sakit, tapi tetap diberi perintah layaknya seorang budak.

            Kulaporkan hal pada Kaede, namun orang tua itu sudah sangat mencintai Aoi. Dan yang paling parah Aoi sudah mengandung anak keduanya, padahal umurnya sudah 38 tahun! Dasar Kaede, tidak memikirkan kualitas anaknya tapi kuantitas anaknya. Kembali ke masalah Yasuei, dia tidak mengindahkannya, dasar orang tua yang kerjanya hanya memiliki anak. Beruntung sebelum ibuku meninggal ia tidak pologami. Jika tidak maka kakekku akan menghajarnya habis-habisan. Jika dia akan menikah lagi, aku bersumpah akan pergi dari rumah terkutuk ini.

            Kemudian, 2 tahun berlalu sejak Aoi melahirkan anak keduanya yang seorang laki-laki juga, dan anehnya dia memiliki tanda serupa denganku tapi pada bagian leher hingga ke telinga bawahnya. Aku juga bingung melihatnya, namun aku menyimpulkan ini akibat darah yang diwariskan Kaede. Dan kebetulan sekali, aku kabur dari rumah ini tepat pada ulang tahun Shuji yang ke-14, karena hal yang aku prediksi pasti akan terjadi. Aku menghajar Shuji hingga babak belur. Aku tidak tahan melihatnya menendang Yasuei dan itu membuat otakku mau pecah. Sepertinya aku sudah mengalami gangguan mental pada saat itu. Aku bahkan tidak bisa mengingat apa yang kulakukan pada Shuji. Oh, ya, aku menghajarnya hingga wajahnya penuh dengan darah. Tiap hantaman rasanya seperti ribuan kebencian kusalurkan.

            Akibatnya, Kaede mengamuk kepadaku. Aku sempat melawan namun dipojokkan olehnya di belakang sumur. Aku bersiap, meski kepalaku pusing akibat tendangan ke tengkorakku tadinya. Namun sepertinya aku tersungkur, lututku ditanah. Kaede yang sudah bersiap melancarkan tendangannya yang akan membunuhku, tiba-tiba terjatuh diikuti serpihan kayu. Ternyata itu Yasuei. Ia mendatangi ku dan menarikku. Kami berlari tanpa berhenti atau melihat kebelakang ke arah barat hingga matahari terbenam. Tepat sesudahnya aku pingsan.

            Aku terbangun mendengar suara air, ternyata Yasuei mengambilkan air untuk membangunkanku. Ia berkata bahwa aku sudah pingsan selama 2 hari. Ia merawat lukaku dengan daun binahong. Memang daun ini banyak ditemui di daerah ini. Aku berterimakasih sekaligus meminta maaf, karena aku, dia juga menjadi sasaran Kaede. Kami lalu melanjutkan perjalanan setelah lukaku mengering. Kami hanya memakan kelapa yang bisa kupanjat sebagai penahan rasa lapar. Setelah 3 hari perjalanan melewati gunung demi gunung, kami tiba di suatu desa.

            Desa tersebut bernama Mushimamoto. Aku pernah mendengar desa ini di legenda yang sering diceritakan kakekku. Ternyata benar ada desa seperti ini. Namun aku memutuskan kami tidak masuk ke desa dan hanya tinggal di pinggiran. Aku membuat gubuk dari bambu menggunakan katana (pedang panjang) yang dibawa Yasuei saat kabur. Yasuei memukul Kaede pada saat itu menggunakan sarung katananya. Gubuk tersebut cukup untuk tempat kami tidur, dan kami memasak di luar. Kami hanya memakan jewawut setiap hari. Aku tidak mengalami hal yang sulit, namun suhu tubuh Yasuei sepertinya semakin meningkat setiap harinya.

            Aku memutuskan untuk masuk desa pertama kali. Aku ingin mendapatkan obat, dan aku memantau dimana tempat penjualan obat atau rumah tabib. Setelah matahari hampir terbenam, aku menemukan rumah sasaranku. Aku menunggu hingga bulan menunjukkan wajahnya, dan masuk kerumah tersebut melalui jendela kamar. Beruntung obat adikku ada diantara obat lainnya. Aku bergegas keluar dari jendela yang sama ketika pemilik rumah menyadari ada yang masuk. Aku langsung lari secepat cahaya, dan berhasil keluar desa dan datang ke gubuk kecil kami. Keesokan harinya aku memberi Yasuei obat tersebut.

            Empat tahun bukanlah waktu yang singkat, namun aku selalu berhasil membawa obat untuk Yasuei. Karena aku sepertinya menjadi buronan, kami memutuskan untuk pindah ke gua yang berada didekat sungai desa. Namun, tidak ada yang abadi, begitu pula dengan hidup manusia. Yasuei meninggal pada hari dimana aku mulai melupakan siapa namaku. Seminggu sebelum kematian Yasuei, aku tertangkap dan dipenjara di pusat desa. Sepertinya aku akan dijatuhi hukuman berat. Hanya karena aku tergelincir di atap rumah, akibat salju yang turun, aku tertangkap.

            Saat tiba hari penghukuman, aku melihat Yasuei datang di antara kerumunan orang. Hukumanku telah diputuskan oleh hakim, cambuk  sebanyak 500 kali, sebanyak kasus pelaporan pencurian 4 tahun terakhir. Ketika selesai membacakan hukuman, Yasuei datang pada hakim desa dan meminta sesuatu. Aku dibawa pergi, dan sambil menangis, melihat bagaimanna cambukan kepada adikku dilemparkan. Setelah 30 cambukan saja Yasuei sudah pingsan, namun para iblis ini tidak peduli. Mereka tetap melanjutkan cambukan hingga darah keluar dari punggung Yasuei. Aku tidak bisa menaham rasa benci ini. Aku berteriak dalam kehampaan hidup. Oh Tuhan, mengapa kau memberiku hidup seperti ini? Aku pingsan.

            5 hari kemudian aku bangun dan tanganku di tato garis berwarna biru sebanyak 3 garis. Aku bertanya apa maksud ini, dan mereka menjawab bahwa aku merupakan penjahat kelas 3 atau kelas menengah, dan setiap desa lain akan mengetahuinya. Melihat wajah para monster ini tidak menunjukkan rasa simpati membuat darah ku mendidih. Ku robek tali yang mengikatku, dan menerjang keluar dari kurungan kayu ini. Aku mengambil katana penjaga lalu merobek perutnya. Aku kabur setelah 20 penjaga mulai menargetkanku. Aku melanjutkan pelarian menuju kearah barat. Entah mengapa tujuan perjalananku selalu menuju ke arah barat. Mungkin karena matahari selalu tenggelam di barat, dimana akhir dari siang, dan pergantian kepada malam yang lebih mengerikan dibanding siang.

            1 minggu perjalanan bukanlah waktu yang singkat, perjuanganku melewati padang rumput nan panas ini membuat aku selalu menyesal memukul si perempuan itu. Ya tentu saja anak dari... oh ya Tuhan, aku melupakan mereka! Siapa nama mereka!? Sepertinya aku mengalami anemia. Lalu untuk apa aku berjalan ini? Ya Tuhan, kumohon bantulah aku. Aku tidak tahu apakah ada Tuhan ataupun Buddha disana, tapi kumohon seseorang bantu diriku ini! Aku pingsan.

            Kudapati diriku lagi di penjara. Berarti seseorang membawaku dan melihat tanda di tanganku. Sepertinya penjara ini lebih buruk dari sebelumnya. Penjagaannya tidak terlalu ketat. Aku hanya harus kabur. Namun aku tidak bisa menemukan katanaku! Dimana dia? Itu harta berharga yang didapat keluarga Tomioka dari penempa pedang terbaik di negeri ini, Ubuyashiki! Aku harus mencarinnya. Namun pertama aku harus keluar dari penjara ini.

            “Mencari ini, nak? Kurasa kau tidak membutuhkannya lagi,” suara pria yang sangat dalam. Dia datang perlahan. Wajahnya mengalami luka pedang pada mata kirinya dan luka bakar pada kepalanya yang tak berambut. Rambut yang kulihat hanyalah jenggot yang hitam.

            “Apa maumu, dasar tua! Kembalikan hartaku itu!” bentakku.

            Dia berbicara dengan penjaga disebelahnya, lalu memberikan katana padanya. Ia tersenyum padaku. Lalu pergi tanpa berbicara. Aku menerjang keluar dari kandang sialan itu dan menghajar penjaga yang memegang  katanaku. Ia tersungkur seketika. Kuambil katanaku dan melihat keasliannya. Aksara kanji masih ada, dan bahkan para penjaga ini membuat sarungnya. Pedang ini sepertinya tampak lebih berwarna biru dibanding sebelumnya. Apa yang diperbuat para manusia tak beradab ini?

            Aku lari dari penjara dan melihat ke sekeliling. Desa ini tampak lebih besar dari desa lain. Sepertinya malam sudah mau tiba, dan aku membutuhkan baju yang bisa menutupi lenganku, mungkin kimono berlengan panjang. Aku melihat orang masih beraktivitas. Kupanjat atap rumah yang cukup tinggi lalu bersembunyi dibalik cerobong asapnya. Sepertinya ini rumah orang kaya, yang sangat kaya. Kulihat purnama sudah menunjukkan kembali senyumnya, saatnya beraksi. Aku memotong pintu dengan katanaku, sepertinya keahlian katanaku sudah semakin baik. Sepertinya tidak ada kimono, hanya ada haori petak berwarna putih hitam. Kulihat lagi ada daging terletak di lemari makanannya, beratnnya sekitar 2 kg dan sepertinya sudah diasapi. Tanpa pikir panjang kubawa juga.

            Aku berlari ketika menyadari ada cahaya datang. Orang dari luar datang sambil membawa katana dan lampu minyak. Aku bersembunyi di sisi pintu menunggu mereka menunjukkan batang hidungnya. Sepertinya mereka berdua, dan aku tidak perlu menggunakan katana ini. Saat cahaya masuk, kutiup dengan mudah sehingga tidak ada penerangan, teman satu laginya terdorong masuk. Bermodalkan cahaya purnama, mereka tergeletak dengan wajah yang berdarah. Aku bergegas lari dan meninggalkan desa ini. Namun naas aku dihadang oleh sekitar 20 orang. Sepertinya tidak ada pilihan selain mengambil katana di pinggangku dan mengacungkan pada 20 orang ini. Aku harus bisa bertahan hingga matahari terbit, agar aku mendapatkan kekuatan lebih. Cahaya bulan memperkaku tulangku, namun meningkatkan cara berpikirku. Lebih baik cahaya matahari agar tulangku lebih fleksibel.

            Aku berhasil, aku bertahan dari 17 orang, namun dengan bayaran mata kananku yang sudah tidak berfungsi akibat terkena pedang. Tersisa 3 orang dan 2 dari mereka sudah kehilangan banyak darah. Mereka ambruk. Lalu seseorang memegang bahuku, aku tidak menyadarinya. Aku harus menyerangnya! Clang!!! Suara besi berbenturan memekakkan telinga. Pria berusia sekitar 40 tahun yang terlihat lembut namun dengan brewok yang cukup rapi ia terlihat garang. Ia mengambil ancang-ancang dengan kepalanya dan membenturkannya. Rasanya tengkorak kami menyatu. Lalu aku jatuh pingsan lagi.

            Seperti biasa, aku terbangun oleh cahaya yang cukup silau. Aku melihat seorang pria, sepertinya dia yang membenturkan kepalaku. Siapa dia?

            “Selamat datang di desa Sugimoto, desa penempa pedang terbaik di negeri ini. Dan namamu adalah,” tanyanya, “Tomioka. Aku dapat melihat dari pedang yang kau bawa itu.”

            “Pedang? Dimana pedangku?”

            “Tenang saja, aku tidak menyimpannya, hanya berada di sampingmu.”

            Dia benar, pedangku di sampingku. Efek benturan sepertinya membuat kepalaku bertambah pusing. Aku melihat pak tua itu kembali. Dia hanya melekatkan matanya pada dahiku. Sepertinya akibat tanda lahir terkutuk ini.

            “Jika kau menganggap tanda itu pembawa sial, maka kau salah. Itu adalah tanda yang akan memberimu jalan jika kau kehilangan arahmu. Seperti kau lihat,” ia membuka baju dan menunjukkan punggungnya, “aku juga sama sepertimu. Kita adalah yang terpilih. Dan mengenai pedangmu, sepertinya sudah ada yang hilang, tanda pada sarungnya. Aku juga mengetahui nama keluargamu dari pedang tersebut.”

            Aku terkejut jika dia mengetahui nama keluargaku hanya melihat pedang. Ya, lagipula ini desa penempa pedang, tentu mereka tahu. Namun bagaimana ia tahu ada yang hilang dari pedangku? Saat aku ingin bertanya, dia menyebutkan nama Ubuyashiki Komainu. Siapa itu?

            “Aku. Aku adalah salah satu dari 7 keluarga penempa pedang. Namun keluarga kami dikucilkan akibat kesalahan memberikan 1 dari 13 pedang terbaik, disebut Burakkunachi atau Maret Hitam. Pedang ini merupakan pedang terhebat dari ke-13 pedang lainnya, karena sulitnya untuk ditembus dan memang, besi yang digunakan keluargaku tidaklah besi sembarangan, diambil dari puncak gunung Sagiri disebelah desa ini. Dan kini aku akhirnya dapat melihat bentuk dari pedang tersebut secara langsung, yaitu ditanganmu. Namun ada yang hilang, yakni semangat bertarung dari pedang ini. Sepertinya warnanya juga menjadi lebih biru dibanding sketsa keluargaku.”
            Aku memintanya menjelaskan mengenai semua yang dia ketahui terkait dari keluargaku, namun ia menolak dan mengatakan bahwa lebih baik kalau aku mencarinya sendiri di kemudian hari. Dia menawarkan untuk menjadi guruku, melihat kemampuan pedangku  yang bisa membabat habis 19 orang penjaga (aku juga baru tahu itu penjaga). Aku menerimanya, namun aku bertanya mengenai tanda pada lenganku. Dia memberiku haori panjang berwarna hitam dan kuning, dimana didominasi warna hitam. Aku melihatnya, dan menjaganya.

            Lalu ia membawaku ke salah satu bilik rumahnya. Aku menyadari bahwa rumah ini sama seperti rumah kami, merupakan tempat berlatih, namun tidak tahu apakah ini tempat berlatih kendo atau katana. Melihatku bingung, Komainu mengatakan bahwa ini adalah tempat berlatih katana. Sepertinya kendo tidak lagi terkenal (kendo merupakan aliran pedang dari Jepang).

            Ia membuka bilik tersebut dan ada seorang perempuan, berusia sekitar 15 tahun, setahun lebih muda dariku. Wajahnya yang merah dan hidung mancung serta matanya berwarna biru tua menatapku lekat-lekat. Sepertinya sudah kebiasaan orang di rumah ini untuk menatap dengan seksama.

            “Ubuyashiki Iseri, putriku satu-satunya. Ibunya meninggal karena sudah tidak mampu  merawatnya. Aku menitipkannya padamu. Putriku, kamu tidak keberatan bukan?” tanya Komainu dengan senyum yang tulus.

            “Uhk.. Ya ayah,” seru perempuan itu. Aku lantas bertanya pada Komainu, “apa kau mempercayakan putrimu satu-satunya pada penjahat kelas menengah sepertiku?”

            Jawabnya tetap dengan senyumnya, “aku baru mengalahkanmu dengan kepalaku, pendekar pedang.”

            Setelahnya ia pergi. Aku memutuskan merawat Iseri sambil berlatih dibawah didikan Komainu. Beberapa minggu berlalu, Iseri tampaknya mencoba untuk berjalan, meski tubuhnya lemah. Ia berkata tidak ingin merepotkanku dalam mengurusnya. Aku tetap memaksanya untuk istirahat. Namun kami saling berkeras kepala, tetapi tetap bergurau ria.

            Selalu sama setiap hari selama 3 tahun, Iseri sudah mampu berjalan lebih dari 3 jam. Sungguh kemajuan yang besar. Aku juga sudah menguasai ilmu pedang Komainu, dan bahkan berhasil mengalahkan Komainu dalam latihan, setelah sebelumnya selalu kalah hingga 2000 kali. Bukan mengada-ada, aku menang pada pertarungan ke 2002 dan itu hanya memukul bagian lehernya hingga pingsan. Iseri panik dan juga pingsan, namun aku tidak, dan merawat mereka.

            Seminggu setelah kemenanganku, Komainu, yang sudah mulai kuanggap sebagai ayahku, memanggilku.

            “Kau memang sangat hebat, mampu menguasai jurus pedang yang kuajarkan dan juga mengasah keterampilan bela diri air mu itu dengan pedang, tapi satu hal haruslah kamu ingat, jangan menyepelekan orang lain. Kamu harus membantu si lemah yang tertindas dan menghajar si penindas. Ingat selalu!”

            Aku mendengar dengan seksama, lalu ia memanggil Iseri. “Sekarang, ambillah putriku untuk menjadi istrimu, dan jaga dia. Aku tidak tahu berapa lama lagi aku akan tetap berada di dunia ini,” ucap Komainu.

            Kulihat Iseri wajahnya juga memerah. Aku tidak mampu menahan rasa ini. Namun dengan bijak aku berkata, “Pak, aku memang berhutang budi padamu karena menerima diriku yang seorang penjahat, untuk masuk kedalam istanamu. Namun, beri aku waktu untuk membuktikan, apakah aku memang layak untuk mendapatkan cinta putrimu, dan ketika aku sudah membuktikannya, aku sendiri yang akan meminang putrimu, Iseri.”

            Dia tercengang, begitu pula Iseri. Aku berkata bahwa akan ada pertandingan di mana tiap dojo dari desa akan mewakili desanya untuk ditunjuk sebagai pengawal utama kaisar negeri ini. Ia setuju dan memberiku waktu untuk mempersiapkan diri dalam pelombaan 2 pekan kedepan.

            Pertandingan di desa ini sangat meriah, dihadiri oleh puluhan orang. Setelah beberapa acara pembukaan, tibalah pertandingan, dan aku mendapat giliran pertama, dimana lawanku adalah seseorang... Oh tidak, demi Tuhan mengapa aku bertemu lagi dengan manusia terkutuk ini!? Shuji!

            Rasa ingin menghajarkan kembali ada pada diriku. Namun ia menyapaku, “oh, si pelarian yang kabur bukan?”

            Dasar anak tak berguna, kau akan kuhajar hingga habis. “Dan apa itu? Tato bergaris 3? Kau seorang buronan? Hahahah..” tawanya memecah dalam kerumunan orang. Para manusia ini menatap dengan mata merendahkan. Seorang penonton bertanya, apakah kriminal diperbolehkan untuk ikut dalam pertarungan. Dasar biawak! Memang mereka selalu merendahkan diriku ini.

            Setelah diskusi panjang, mereka memutuskan berdasarkan peforma diriku dari pertandingan ini. Aku memutuskan untuk melawan Shuji dengan 40% dari kekuatanku. Aku yakin dirinya tidak kuat seperti dahulu. Tepat ketika gong berbunyi aku menarik pedangku, dan... Clang!!! Shuji menyerang leherku, untung aku langsung mengambil napas cepat, lalu bersiap dengan kuda-kuda. Shuji hanya tersenyum.

            “Kau sungguh hebat, dik.” ”Jangan sebut namaku dengan mulut kotormu!” Emosi mengingat kelakuannya pada Yasuei membara, napasku menjadi tidak teratur, dan lagi memanfaatkan emosiku dia menyerang leher sebelah kiriku, aku menurunkan punggung hingga posisi kayang, lalu salto dan hampir keluar arena. Napasku memang tidak teratur. Shuji datang, lalu menyerang, kecepatan yang tidak masuk akal. Seolah-olah berhadapan dengan petir, selalu menyambar. Dia menyerang, lalu balik. Tanganku luka. Apa-apaan ini? Bukankah serangannya tidak mengenaiku?

            “Kilat datang lebih dahulu dibanding petir. Pernapasan petir, aliran pertama, kilat malam hari.”

            Jurus apa-apaan itu! Ia berhasil menguasai jurus petir? Tak heran melihat pedang kuningnya. Dari mana ia belajar ini? Aku baru ingat. Orangtua sialan! Dia menikahi Aoi karena Aoi adalah anak dari keluarga Hada! Keluarga pengguna aliran petir! Dia mengincar garis keturunan yang hebat? Apa aku kurang dimatanya? Sialan!

            Aku harus fokus pada anak kurang ajar ini. Kupersiapkan kuda-kudaku, dan dia maju, brak!!! Suara besi yang patah memekikan telinga. Pedang Shuji hancur!

            “Air mampu membelah batu. Pernapasan air, aliran ketujuh, tetesan hujan di batu berlubang.”

            Aku berhasil, dan tinggal melepaskan satu tangannya, namun sayang, gong berbunyi. Aku dinyatakan lolos, unggul 1 poin darinya. Aku melanjutkan ke babak selanjutnya. Aku berhasil menang dengan mudah di 3 babak berikut sebelum ke babak final, dimana lawanku adalah seorang dengan badan yang cukup tinggi. Aku menyerang pertama, namun digagalkannya.

            Tampaknya dia tidak ingin menyerang, dan aku memanfaatkan dengan serangan beruntun ke bagian kepalanya. Namun kepalanya dihadang oleh rantai yang digunakannya. Ia mulai membangun serangan bombardir. 10 menit aku hanya menghadang rantai ini, dan ia tidak terkena seranganku, malahan aku babak belur akibat bola besi ini.

            Aku memutuskan menggunakan kembali jurusku. Aku menemukannya, celah dibalik bola besinya, aku maju dan melancarkan serangan, “Air beriak tanda tak dalam. Pernapasan air, jurus pertama, tebasan permukaan air.” Tampaknya serangan tersebut melukai tangannya, dan  memutus tali kuat penahan bola tersebut. Pertandingan dihentikan dan aku berhasil menjadi wakil desa ini untuk pertandingan antar desa, lalu antar prefektur, dan akhirnya berhadapan dengan panglima tinggi Kaisar negeri ini.

            Aku senang, dan kembali ke rumah, dan menceritakan semua pada Komainu dan Iseri. Mereka bersyukur aku memenangkan pertarungan ini, dan aku akan memenuhi janjiku pada Iseri. Kami menikah 1 bulan kemudian, hanya mengundang pendeta (biksu) kerumah sebagai saksi akan cinta kami.

            Tiga ratus enam puluh lima hari lamanya waktu berlalu, dan Iseri sedang mengandung 7 bulan. Kami mulai memikirkan rencana, bersama ayah mertuaku. Namun siapa menyangka, 1 minggu sebelum aku berangkat menuju pertandingan antar desa, tragedi menimpaku. Aku terpaku melihat ayah mertua dan istriku tergeletak ditanah dekat sumur. Siapa orang yang melakukan ini semua! Aku berteriak, lalu dengan pikiranku menggali kuburan langsung di samping rumah dan memakamkan mereka. Tangis dan amarah tidak pernah lepas dari wajahku. Aku tahu siapa dibalik ini semua.

            Keluarga Nakayama! Dasar kalian memanjakan anak-anak kalian, karena kalian adalah keluarga terkaya dari 21 keluarga di negeri ini. Aku mendatangi dojo murid anak orang kaya ini, dan menemukan yang kucari. Ia tidak menyangka aku datang ke kandang singa, dimana ada lebih dari 40 orang di dojo ini. Aku menarik pedang dan seketika menebas leher Shuji. Mereka semua diam terpaku, namun seseorang berteriak, “serang!! Kalahkan manusia ini!!”

            Malam itu merupakan pembantaian terbesar dalam sejarah desa ini. 40 lebih anak meninggal akibat pedang dari seorang monster, yaitu diriku. Aku mengutuk diriku sendiri, dimana aku mulai melupakan namaku setiap kali aku kehilangan kendali emosi. Dan aku mulai diburu oleh penjaga desa ini. Aku berlari keluar menerjang 20 orang lebih, dan diakhiri luka pada perutku dan lenganku. Aku berlari hingga aku pingsan. Ketika terbangun, aku tetap melanjutkan perjalanan ke arah barat. Tetap dengan pedang kesayanganku. Dan aku sekarang, merenungi hidupku di padang pasir ini.

            “Hai, siapa namamu? Apa yang kau lakukan?”

            Aku kaget melihat seseorang disampingku bertanya demikian. Yang benar saja! Orang di padang pasir ini?

            “Aku sudah melupakannya. Lagipula, siapa namamu!?”

            “Aku? Aku sudah lupa siapa namaku .”

•••

Komentar